Tiga Model Pemahaman Keagamaan

Sampai saat ini berkembang tiga model pemahaman keagamaan. Model pertama yaitu model pemahaman seperti pemahaman pada zaman sahabat dan ulama salaf. Model ini mulai dari zaman setelah meninggalnya Rasululullah sampai munculnya mazhab-mazhab. Model pemahaman ini berlangsung lebih kurang 140 tahun sejak Rasulullah meninggal tahun 10 Hijriah, sampai masa sebelum wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal 150 Hijriyah.


Sebelum tahun 150 Hijriyah, telah muncul model pemahaman lain yaitu model pemahaman mazhab. Model ini berkembang sampai tahun 1900 Masehi.

Sesudah 1900 Masehi, muncul model pemahaman keagamaan baru yaitu model tajdid. Model pemahaman ini tidak terikat dengan model salaf dan juga model mazhab. Model pemahaman tajdid menekankan pentingnya kembali kepada ajaran agama yang berasal dari Alquran dan Alhadis untuk dipahami sesuai dengan zaman sekarang. Kembali kepada Alquran dan Sunnah dengan tetap menatap kemajuan dan perkembangan zaman.

Contoh populer tentang model pemahaman tajdid di antaranya adalah adanya hisab hakiki untuk menentukan masuknya waktu salat dan masuknya bulan baru sebagai pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Jam baru masuk ke dunia Islam sesudah 1900 M. Masa salaf maupun masa imam mazhab belum dikenal jam. Maka pedoman masuknya waktu salat adalah betdasarkan pemahaman tekstual hadis.

Begitu juga belum ada teknologi untuk melihat bulan. Pada masa Usman, pernah terjadi awal Ramadan di Madinah dan di Syiria tidak sama karena hilal tidak sama tampak pada dua kota itu. Maka menurut model pemahaman salaf, boleh berbeda 1 Ramadan antara suatu kota dengan kota lainnya seperti Bireun dan Takengon misalnya.

Di Takengon sebelum diperkenalkan hasil hisab untuk menentukan awal Syawal, ada pengalaman puasa loha. Puasa loha yaitu membatalkan puasa di pertengahan hari karena telah tersiar kabar melalui radio bahwa hilal 1 Syawal sudah tampak. Namun, Salat Idul Fitri tidak dilaksanakan hari itu karena matahari telah tinggi. Salat Id dilaksanakan besoknya. Tapi hari itu tetap tidak puasa. Ini di antara akibat penggunaan teknologi setengah-setengah.

Metode hisab hakiki tidak menggunakan teknologi setengah-setengah. Dengan hisab telah dibuat jadwal salat dan perhitungan pergantian bulan sampai sekian tahun ke depan. Peristiwa gerhana yang terjadi beberapa waktu yang lalu telah diperkirakan dalam hasil hisab. Kapan lagi gerhana akan terjadi juga bisa dihitung menurut hisab.


Itulah di antara penyampaian Prof. Dr. H. Al Yasa Abubakar, M.A., Guru Besar Fiqih UIN Arraniry Banda Aceh, dalam pengajian Muhammadiyah Cabang Kota Takengon pada hari Jumat 4 Rajab 1439 H/ 20 April 2018.
______

BACA JUGA penyampaian Prof. Al Yasa tentang:

- Peran Ulama Dalam Penguatan Ekonomi Ummat
Kedudukan Perempuan Menurut Model Pemahaman Tajdid

Share this:

Post a Comment

 
  • Contact Us | Site Map | TOS | Privacy Policy | Disclaimer
  • Copyright © Bismi Rabb. Template by OddThemes